Minggu, 22 Mei 2016

PENTINGNYA GOTONG ROYONG DALAM KEHIDUPAN

   


   Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti pikul atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Sehingga jika diartikan secara harafiah, gotong royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Gotong royong dapat dipahami pula sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan. 

Nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong:

1. Kebersamaan 




2.Persatuan



3.Rela Berkorban 

4.Tolong Menolong

5.Sosialisasi 



Manfaatnya :

MANFAAT GOTONG ROYONG

Gotong royong merupakan budaya masyarakat yang akan memberikan banyak sekali keuntungan. Keuntungan –keuntungan tersebut antara lain:

1. Meringankan beban pekerjaan yang harus ditanggung

Semakin banyak orang yang terlibat dalam usaha membangun atau membersihkan suatu lingkungan, maka akan semakin ringan pekerjaan dari masing-masing individu yang terlibat di dalamnya. Selain meringankan pekerjaan yang harus ditanggung oleh masing-masing individu, gotong royong juga membuat sebuah pekerjaan menjadi lebih cepat untuk diselesaikan. Artinya, gotong royong dapat membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. 

2. Menumbuhkan sikap sukarela, tolong-menolong, kebersamaan, dan kekeluargaan antar sesama anggota masyarakat

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gotong royong memiliki nilai-nilai yang menjadikan gotong royong menjadi budaya yang sangat baik untuk dipelihara. Gotong royong dapat menumbuhkan sikap sukarela, tolong-menolong, kebersamaan, dan kekeluargaan antar sesama anggota masyarakat. Masyarakat yang mau melakukan gotong royong akan lebih peduli pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka rela untuk saling berbagi dan tolong menolong. Masyarakat juga dapat lebih “guyup” karena gotong royong menjaga kebersamaan dan kekeluargaan antar sesama anggota yang ada di masyarakat.  

3. Menjalin dan membina hubungan sosial yang baik dan harmonis antarwarga masyarakat

Lingkungan yang harmonis akan menyehatkan masyarakatnya. Ketika ada satu anggota masyarakat yang kesulitan, maka anggota masyarakat lain akan sigap memberikan pertolongan. Hubungan sosial yang baik dan harmonis seperti ini dapat dibangun jika masyarakat mau malakukan kegiatan gotong royong. Gotong royong dapat menumbuhkan hubungan sosial yang baik pada masyarakat. Sebagai akibatnya, hubungan antaranggota masyarakat pun akan semakin harmonis. 

4. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional                         

Dalam skala yang lebih besar, gotong royong dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional. Masyarakat yang sudah solid di tingkat RT atau RW akan mampu menjalin persatuan yang lebih besar lagi dalam skala nasional. Gotong royong mampu menyadarkan masyarakat jika kita semua berada di tanah air yang sama, sehingga sikap persatuan dan kesatuan yang ada juga harus diwujudkan dari Sabang sampai Merauke, yakni pada seluruh daerah di Indonesia.

 *Pict's from Google ^_^


sumber: 
http://www.ciputra-uceo.net/blog/2016/2/15/gotong-royong-dan-manfaat-gotong-royong-bagi-kehidupan 
www.Google.com

Minimnya Kesadaran Membuang Sampah Pada Tempatnya

Minimnya Kesadaran Membuang Sampah Pada Tempatnya

         Satu hal yang diajarkan sejak umur dini sampai tua pun masih saja banyak yang menyepelekannya. Kita dari kecil diajarkan apa itu fungsi tempat sampah, yaitu tempat untuk meletakkan sampah kita, sehingga ada tempat untuk sampah agar tidak tercecer di tempat yang bukan semestinya. Tapi apa yang saya lihat di kenyataan sekarang ini, jauh dari kata penerapan edukasi. Sepertinya pelajaran membuang sampah pada tempatnya hanya berlaku di bangku sekolah saja, tidak berlaku dan diterapkan di lain tempat.

(pict from: eramuslim.com)

 Padahal masyarakat tahu betul dampak buruk dari tindakan membuang sampah sembarangan, selain merusak pemandangan juga menimbulkan bencana banjir bahkan dari bencana ini bisa merenggut nyawa seseorang, misalnya tenggelam, atau karena penyakit yang ditimbulkan karena kotornya lingkungan dampak dari banjir. Dengan adanya bukti dan fakta seperti ini pun juga tidak menyadarkan masyarakat akan kesadaran diri peduli terhadap lingkungan, dimulai dari membuang sampah pada tempat sampah.
 Contoh dampak dan akibat membuang sampah sembarangan :
1. Banjir
(pictfrom: kompas.com)

2.Kumuh dan merusak pemandangan

(pictfrom: metro,news.viva.co.id)
3. Sarang nyamuk dan penyebab penyakit
( pictfrom:ejpcertis.com)
      Membuang sampah pada tempatnya merupakan sesuatu yang harus dibiasakan agar menjadi suatu kebiasaan baik, kalau memang belum dibiasakan dan menyadari arti pentingnya, seseorang belum akan perhatian untuk membuang sampah mereka pada tempatnya. Saya sadari betul ini merupakan tindakan sederhana namun sulit dalam pencapaian aktualnya. Tindakan membuang sampah pada tempatnya yang harusnya menjadi budaya, malah sebaliknya, buang sampah sembarangan menjadi budaya masyarakat sekarang. Mereka hanya berteriak ke pemerintah setempat karena kawasannya banjir, kawasannya kumuh, kotor banyak terjangkit penyakit. Dalam hal ini yang patut disalahkan adalah warga penghuni kawasan tersebut, bukan pemerintah!
Mari awali sesuatu yang baik dari diri kita sendiri. Tetap semangat ^_^

Sabtu, 30 Januari 2016

PENTINGNYA MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER


 
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan di harapkan, proses pendidikan senantiasa dievaluasi dan diperbaiki kualitasnya. Salah satu upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan Indonesia.gagasan ini muncul karena proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal dalam membangun karakter, penilaian tersebut didasarkan banyaknya lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara intelektual akan tetapi berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu hal yang mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus-menerus dan refleksi mendalam untuk membuat dan membentuk watak seseorang. Pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar, yang mana banyak persoalan yang muncul bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Tujuan pendidikan tidak hanya membentuk siswa yang cerdas dan kompeten akan tetapi juga menciptakan siswa yang berkarakter kuat.
-  Pentingnya pendidikan karakter
 Menurut Munir mendefinisikan karakter sebagai sebuah pola baik itu pikiran, sikap maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan. (2010 : 3). Sedangkan pendidikan karakter sendiri dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. (Martadi, 2010) Pendidikan Karakter Karakter / budi pekerti bangsa adalah hal yang unik yang khas yang menjadi unsur pembeda antara bangsa yang satu dengan bangsa lain yang merupakan perpaduan karakter / budi pekerti dari seluruh warga negaranya.[1]

Pendidikan karakter yang di terapkan di indonesia masih kurang berhasil karena dalam pelaksanaanya belum mencakup semua sekolah dan belum maksimal sehingga dapat menimbulkan dampak bagi perkembangan peserta didik seperti banyak pelanggaran yang di lakukan oleh sisawa seperti tawuran antar pelajar maupun seorang pejabat yang berpendidikan tinggi yang tidak kuat secara mental menghadapi tanggungjawabnya sehingga melakukan tindak korupsi.
Karena dalam proses pendidikan di sekolah masih banyak yang mementingkan aspek kognitifnya ketimbang psikomotoriknya, masih banyak guru-guru di setiap sekolah yang hanya asal mengajar saja agar terlihat formalitasnya, tanpa mengajarkan bagaimana etika-etika yang baik yang harus dilakukan. Sehingga banyak sekali yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikaan karakter disekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekkan.
     -Model-model pembelajaran pendidikan karakter 
     Dalam dunia pendidikan terdapat model-model pembelajaran yang di maksud dengan model pembelajaran yaitu suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. Pembelajaran yang di maksud disini termasuk penggunaan media pembelajaran secara umum seperti buku, film, komputer, kurikulum dan lain-lain. (Qoyce, 1992) Pembelajaran yang dilakukan yaitu salah satunya pembelajaran reflektif. Menurut Mezirou (1998) refleksi di bagi menjadi dua yaitu refleksi biasa dan refleksi intensif, refleksi  merupakan proses belajar yang tidak mudah di wujudkan, lagi pula di antara kedua refleksi tersebut bisa berbeda-beda tingkatanya di antara individu yang satu dengan yang lainya. Pembelajaran reflektif di lakukan agar seorang siswa dapat merespons apabila sedang melakukan komunikasi dengan orang lain, pembelajaran tersebut di lakukan sejak usia dini maupun memasuki dunia sekolah TK/SD/SMP dan seterusnya hingga Perguruan Tinggi.
            Perguruan tinggi merupakan merupakan jenjang pendidikan kelanjutan dari jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya dari TK/SD-SMA. Seseorang tidak mungkin menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi tanpa melalui jenjeng-jenjang pendidikan sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Buchori (2010) sebagai berikut “pembentukan karakter perlu waktu panjang, dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa ketika seseorang mampu mengambil keputusan mengenai dirinya sendiri dan mempertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri”. Karakter mahasiswa dapat dikembangkan melalui pendidikan secara perlahan dan berkelanjutan, pendidikan karakter di Perguruan Tinggi seyogyanya memperhatikan bahwa terbentuknya karakter seseorang itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Djohar (2011) mengidentifikasi 3 karakter yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorang yaitu model budaya yang di bawa sejak kecil, dampak lingkungan, dan kekuatan individu orang merespons dampak lingkungan. Seorang mahasiswa dalam pelaksanaan perkuliahan pasti terdapat mata kuliah ppkn yang mengajarkan bagaimana menjadi warga negara yang baik dan berkarakter kuat.
Peranan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam menggapai kemajuan sebuah bangsa dan negara ini. Dalam usaha mencapai tahap negara maju, pembentukan Negara sangat bergantung dengan taraf pendidikan di suatu bangsa tersebut. Nilai pendidikan sebuah bangsa akan lenyap begitu saja jika bangsa tersebut lalai dan mudah terbawa arus globalisasit. Apabila sebuah bangsa menganggap lalai maka bangsa tersebut akan sangat mudah terbawa arus globalisasi di dunia ini dan akan mempengaruhi kebudayaan luar masuk ke bangsanya sendiri.
Pendidikan merupakan bidang yang melibatkan dan memerlukan komitmen semua pihak, baik dari kalangan bawah hingga kalangan ke atas. Jika kesadaran akan pentingnya bidang pendidikan dalam kemajuan bangsa telah baik dan menunjukan persentase yang terus berkembang maka itu telah menunjukan bahwa negara itu telah berkembang, telah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan yang sangatlah penting ini dan akan lebih dekat lagi dengan tingkatan taraf hidup yang telah menjadi tujuan negara ataupun bangsa tersebut.Sehingga dalam hal tersebut pemerintah harus mengevaluasi pendidikan di negeri ini dengan menerapkan pendidikan karakter di setiap sekolah dengan maksimal dan di dukung dengan kualitas guru dan sekolah yang baik sehingga menghasilkan peserta didik yang kelak akan menjadi pejabat yang berkarakter demi kemajuan bangsa ini.



KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, yang diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran, diharapkan dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menerapkan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Pendidikan karakter ini mencakup komitmen semua orang yang di atas maupun yang di bawah dengan melakukan evaluasi pendidikan sehingga kualitas pendidikan menjadi lebih baik dan kesadaran dari semua pihak akan mendukung terselenggaranya pendidikan karakter yang bagus. Pendidikan memegang peranan peting bagi kemajuan bangsa. Mulai dari mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang baik dan dapat memepertahankan ciri khas bangsa dan negaranya hingga pemebentukan kepribadian dan karakter yang tangguh agar tidak terpengaruh dengan yang telah terjadi pada era globalisasi ini.


DAFTAR PUSTAKA

·         Suyadi. (2006). Stategi Pembelajaran Pendidikan Krakter. Bandung : penerbit PT. Remaja Posdakarya. (hal 14-15)
·         Majid, A., Dian Andayani. (2012). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung : penerbit Remaja Posdakarya. (hal 100)
·         Saptono. (2011) . Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, wawasan, strategi dan langkah praktis. Jakarta : Erlangga. (hal 10)
·         Wibowo, A., Sigit Purnama. (2013). Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. (hal 120, 121)
·         Budimansyah, Dasim. (2012). Pencanangan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung : Widya Aksara Press. (hal 15)
·         http://naniwidiarti.blogspot.com/2013/05/fungsi-pendidikan-bagi-kemajuan-bangsa.html

Rabu, 27 Januari 2016

Melihat sisi sosial masyarakat Bali (Suku Bali Aga)




          (artikel ini merupakan hasil dari kegiatan observasi langsung selama kegiatan KKL bersama
                            teman-teman kuliah di Universitas Sebelas Maret Prodi PPKn Th.2015)

      Realitas Sosial merupakan kenyataan atau keadaan yang dapat dilihat secara riil yang menyangkut kondisi kehidupan manusia didalam suatu kelompok yang disebut masyarakat (diambil dari buku Pengantar Sosiologi. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2010. hlm 31). Realitas sosial juga merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat. mulai dari bagaimana suatu masyarakat itu berpikir, bertindak  dan sampai menjadi suatu kebiasaan dalam suatu daerah. Realitas sosial dalam suatu masyarakat meliputi berbagai bidang kehidupan sebagai contohnya dalam hal perkawinan, kelahiran, warisan dan hal yang lain yang mana semuanya itu masuk dalam adat istidat mereka. Realitas sosial terjadi karena adanya pola hubungan yang terjadi dalam masyarakat, yang mencapai kestabilan namun juga dapat menimbulkan konflik. Dari interaksi atau hubungan antar masyarakat itulah yang menimbulkan adanya realitas sosial.
Suku Bali Aga adalah salah satu sub suku bangsa bali yang menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Adat istiadat yang dominan bernafaskan hindu menyimpan berbagai upacara keagamaan,  Upacara keagamaan di suku Bali Aga masih sangat kental serta masyarakatnya antusias dalam melaksanakannya. Mereka sangat menjaga adat istiadat mereka  dengan aturan yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Perkembangan jaman yang sangat pesat disertai banyaknya teknologi  canggih tidak mampu membuat mereka untuk secara langsung untuk meninggalkan  aturan adat suku Bali Aga.

STRUKTUR SOSIAL
Di Desa Tenganan Bali Aga terdapat struktur sosial adat yangmembedakan peran seseorang terhadap desa dan tugas pokok fungsi masing-masing tetapi tidak menjadikan adanya pembeda tingkat status sosial antar golongan.Golongan-golongan tersebut, yaitu: 1) Sanghyang : Bertugas untuk memimpin suatu upacara adat, karena mereka dianggap sebagau penghubung dengan Tuhan. 2) Ngijeng. 3) Batu Guling Mage. 4) Batu Guling. 5) Empak Buluh. 6) Prajurit : Seorang prajurit pada zaman dulu bertugas untuk menjaga keamanan desa untuk mempertahankan wilayah seperti berperang, tetapi saat ini keturunan prajurit sudah tidak ada seiring perkembangan zaman. 6) Pande Mas : Seorang yang bertugas untuk membuat alat-alat upacara dari Emas. 7) Pande Besi : Seorang yang bertugas untuk membuat peralatan dari Besi. 8) Pasek. 9) Bendesa.
Pada berbagai Banjar yang ada di Desa Tenganan terdapat berbagai macam golongan yang tersebut di atas.Semua golongan dapat menjadi pemimpin adat, karena kepemimpinan terbentuk berdasarkan senioritas perkawinan.Masyarakat adat Tenganan menganut sistem perkawinan Parental.Dimana  perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Masyarakat adat Tenganan disini juga menganut sistem perkawinan endogami, dimana masyarakat terikat dalam awig-awig yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa ia tidak lagi menjadi warga asli desa adat Tenganan, tetapi hanya menjadi warga adat biasa. Oleh karena itu, yang dapat masuk dalam struktur kepemimpinan adalah warga yang melakukan pernikahan dengan sesama warga desa Tenganan.
Struktur  kepemimpinan di desa adat Tenganan Bali didasarkan pada dua aturan yaitu secara adat dan dinas. Didasarkan pada aturan adat, untuk menjadi pemimpin ditentukan dari senioritas perkawinan.Yaitu pasangan yang menikah lebih dulu dari pasangan yang lain, sedangkan kepala desa secara dinas dipilih berdasarkan  dengan sistem demokrasi. Stratifikasi sosial, dipandang dari kepemimpinan yang ada di Tenganan, tidak ada pembeda antara golongan  yang kaya dan yang miskin semua golongan bisa menjadi  anggota legislatif, karena di desa Tenganan tidak ada kasta. Pemilihan pemimpin di desa Tenganan didasarkan tingkat senioritas perkawinan, perbedaan pembagian kerja dan pembagian daging babi dalam setiap jabatan yang di pegang.
Secara adat dipimpin oleh ketua adat dan secara dinas dipimpin kepala desa. Dalam aturan adat ada tiga lembaga yang memimpin desa adat tenganan. terdapat 3 struktur, yaitu Krama Desa, Krama Gumi Pulangan, dan Krama Gumi, masing-masing krama tersebut mempunyai peranan tersendiri dan terdapat persyaratan untuk menduduki jabatan pada masing-masing krama. Krama desa adalah struktur teratas dalam masyarakat adat Tenganan yang juga berfungsi sebagai lembaga pemeritahan adat yang paling utama dan merencanakan serta menyelenggarakan program-program didalam masyarakat Tenganan. Seperti dengan persyaratan seorang krama desa wajib dijabat oleh sepasang suami istri asli orang Tenganan, tidak cacat fisik, tidak poligami, tidak janda atau duda, tidak melakukkan 2 kesalahan yang sama, anaknya belum ada yang menikah, dan masa jabatannya itu tidak ditentukan.Krama Gumi Pulangan merupakan kelompok terpenting dalam pemerintahan. Gumi pulangan merupakan pensiunan krama desa.Sedangkan Krama Gumi adalah seluruh masyarakat adat tenganan termasuk yang cacat fisik, karena anggota masyarakat yang cacat fisik tidak bisa menduduki jabatan dalam lembaga pemerintahan.

STRATIFIKASI SOSIAL
Tidak seperti masyarakat beragama hindu pada umumnya yang menganut sistem kasta, dimasyarakat adat tenganan bali aga startifikasi sosialnya didasarkan pada senioritas perkawinan. Jadi yang boleh menduduki jabatan pemangku adat adalah sorog sangean. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk bisa menjadi pemangku/ sorong sangean.Stratifikasi sosial masyarakat adat tenganan Bali Aga terbagi menjadi 2, yaitu kelas atas dan kelas bawah.Perbedaan mereka terlihat jelas dalam pembagian tugas ketika upacara berlangsung yangmana masyarakat kelas atas bertugas untuk memimpin jalannya upacara.Sedangkan masyarakat kelas bawah bertugas mencari peralatan dan perlengkapan upacara misalnya bertugas untuk menangkap babi, mencari peralatan seperti janur, buah pisang, buah kelapadan lain-lain.Antara kelas bawah dan kelas atas tidak boleh saling mengambil tugas-tugas diantara mereka.Selain itu yang membedakan diantara keduanya yaitu gaji yang diterima.Biasanya gaji jabatan bawah atau kelas bawah lebih besar daripada kelas atas atau pemimpin.Pembagian tersebut dikarenakan tugas-tugas yang diemban kelas bawah itu yang paling berat dilakukan.Pembagian gaji ini sudah diatur dalam undang-undang.Pembagian tersebut dulu dilakukan berdasar hasil panen yang diperoleh.
Adanya pergantian jabatan secara otomatis ketika seorang pemangku sudah mempunyai anak dan anaknya sudah menikah otomatis jabatan tersebut lengser kepada anaknya.Namun juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat melengserkan jabatan.Faktor-faktor lengsernya jabatan yaitu :
1. Salah satu dari anak seorang yang memiliki jabatan sudah menikah.
2. Salah seorang yang memiliki jabaan tertentu meninggal dunia
3. Salah seorang yang memiliki jabatan melakukan pelanggran yang tidak dapat diampuni oleh forum.
4. Seorang yang memiliki jabatan mengundurkan diri.
Jabatan bawah bisa naik ketika posisi yang ada diatas kosong atau ditinggalkan. Namun untuk kenaikan jabatan memerlukan waktu dan proses yang lama. Ada kekhususan waktu naik jabatan yaitu dibulan pertama, bulan ketiga, bulan kelima dan kesembilan. Berbeda apabila seseorang lengser dari jabatannya, yang tidak memerlukan waktu lama.

SENIORITAS PERKAWINAN
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Adat Tenganan, jabatan dalam sistem pemerintahan di desa ini dipengaruhi oleh senioritas perkawinan. Seseorang hanya dapat menduduki jabatan tersebut jika seseorang telah menikah dan mempunyai pasangan. Dalam sistem pemerintahan ini, jabatan akan naik ketika posisi yang berada diatasnya kosong atau ditinggalkan, proses naiknya jabatan menunggu waktu. Ada kekhususan waktu untuk naik jabatan yaitu dibulan pertama, bulan ketiga, bulan kelima, dan bulan kesembilan, sehingga ada empat kali kesempatan seseorang dapat naik jabatan dalam sistem pemerintahan desa tersebut. Sedangkan seseorang akan lengser dari jabatannya, jika memenuhi beberapa syarat. Syarat tersebut antara lain jika salah satu anaknya sudah menikah, jika salah satu pasangan dari suami istri tersebut meninggal dunia, melakukan pelanggaran yang tidak bisa diampuni setelah di musyawarahkan melalui forum atau rapat desa dan dinyatakan bersalah maka dalam waktu yang sama akan lengser dari jabatannya jika perlu dapat dilengserkan secara paksa.
Sorog Sangean, Sorok yang Tidak Mengalami Mobilitas Sosial.
Berdasarkan hasil penelitian di Masyarakat Desa Adat Tenganan, tidak mengenal adanya sistem kasta, tetapi lebih dikenal dengan jabatan-jabatan sosial atau kelas-kelas sosial. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Tetapi justru yang ada adalah sorog atau clan. Dari sekian sorog yang ada, sorog sangeanlah yang boleh menempati jabatan pemimpin atau yang biasa disebut dengan pemangku adat. Sebutan Pemangku adat jika didaerah Bali yang lain disebut dengan pendeta, tetapi di Masyarakat Desa Adat Tenganan lebih menggunakan sebutan pemangku adat. Tugas dari pemangku adat yaitu sebagai pemimpin upacara yang bersifat turun-temurun.
Perubahan Sosial yang Berjalan Lambat
Dari hasil penelitian kami, perubahan sosial disana berjalan lambat, lambatnya perubahan itu di latar belakangi karena disana itu pendidikan disana sudah maju, sudah ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Walaupun sudah kuliah dimana mana, mereka masih memegang teguh adat desa Tenganan. Ilmu yang sudah dipelajari masih tetap dipakai, setelah wisuda mendapat gelar, mereka kawin dan aktif di desa adat tersebut. Jadi ilmu pengetahuan yang didapat digunakan untuk menambah pengetahuan sendiri sehingga, ilmunya tidak dimplementasikan untuk mengembangkan Adat di masyarakat Bali Aga tersebut. Mereka tidak ada yang bekerja diluar, masyarakat tenganan sudah seperti raja, apapun yang mereka butuhkan sudah ada yang melayani.
Berkaiatan dengan kesehatan masyarakat adat Tenganan, perkembangan kesehatan disana sudah mengalami pergeseran sedikit yaitu tentang kelahiran. Dahulunya mereka hanya mengandalkan dukun dan harus didepan dewa api, namun kelahiran di jaman sekarang ini kelahiran sudah perpindah ke dokter, tetapi rangkaian ritual upacara yang masih dilakukan  karena ada rangkaian adat. Ketika prosesi kelahiran di rumah sakit, pulang dari rumah sakit  mereka  tidak boleh tinggal di sembarang tempat. Dan harus bertempat pada satu unit bangunan, yang baru dibangun pertama ketika  baru menikah yaitu balai tengah, posisi di sebelah utara. Makanya kalau ada kelahiran harus tinggal di satu unit bangunan tersebut utnuk proses upacara kelahiran. Bayinya ditempatkan disana, tidak boleh ditempatkan pada sembarang tempat.
Kesetaraan Kelas Sosial
Masyarakat Desa Adat Tenganan Bali Aga merupakan masyarakat penganut agama Hindu sekte Indra, sehingga mereka tidak mengenal kelas sosial dalam bentuk kasta seperti masyarakat Hindu kebanyakan.Karena tidak mengenal kasta maka kelas sosial di Masyarakat Desa Adat Tenganan tidak abadi.Kelas sosial Masyarakat Desa Adat Tenganan ditentukan melalui senioritas perkawinan.Artinya determinasi kelas-kelas sosial tidak ditentukan berdasar sumber-sumber ekonomi.Hal ini menunjukkan bahwa kelas-kelas sosial Masyarakat Desa Adat Tenganan berjalan lebih kepada fungsional daripada fungsi penguasaan dan yang dikuasai.Penerapan dari kelas-kelas sosial yang mengutamakan fungsional ini adalah terciptanya kesetaraan sosial, artinya kelas-kelas sosial hanya menunjukkan perbedaan mereka ketika dalam upacara atau ritual tertentu.Karena peran-peran dari masing-masing kelas yang sudah ditentukan. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, tiap kelas tidaklah menunjukkan perbedaan, Pola kehidupan sehari-hari antar kelas tidak menunjukan perbedaan, terlihata dari pola interaksi yang sama, pola kehidupan yang sama, cara berpakaian serta bentuk dan luas rumah seluruhnya sama. Artinya disana tidak ada kalangan majikan (borjous) ataupun kalangan buruh (ploretar).Pada Masyarakat Desa Adat Tenganan juga terdapat tanah adat yang sebenarnya merupakan tanah desa yang dibagikan secara merata kepada masyarakat melalui musyawarah kerama desa.Hasil ekonomi pun dibagi berdasar musyawarah kerama desa sehingga dapat terbagi secara merata.Adapun pekerja dari luar yang berkerja kepada Masyarakat Desa Adat Tenganan telah menerapkan sistem bagi hasil sehingga tidak ada perbudakan buruh dan majikan.
Sehingga dengan tidak adanya pembagian kelas sosial berdasar sumber daya ekonomi, keadilan sosial di Masyarakat Adat Tenganan dapat terwujud. Hal ini membuktikan teori Keadilan Sosial Karl Marx yang membendakan kelas sosial berdasar sumber daya ekonomi, bahwa menurut Karl Marx “Keadilan sosial akan tercapai jika kehidupan masyarakat tanpa kelas telah dapat diwujudkan”.

PENGARUH REALITAS SOSIAL TERHADAP PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN
Menurut Zainal Abidin (2008) Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya, oleh sebab itu arti istilah Eksistensi analog dengan kata kerja, bukan kata benda.
Sesuatu dikatakan eksis apabila keberadaanya diakui, adapun keberadaan bisa dikatakan ada bukan karena sesuatu yang lain tetapi karena dirinya sendiri, serta keberadaannya dikatakan eksis apabila  terdapat hak dan kewajiban yang terpenuhi.
Pengaruh Kelas-Kelas Sosial Dalam Interaksi Sosial
Di Masyarakat Desa Adat Tenganan terbagi menjadi kelas-kelas sosial, namun pengaruh dari berbagai kategori kelas-kelas sosial tersebut  tidak pernah menimbulkan konflik bagi masyarakat Adat Tenganan tersebut. Mereka selalu hidup damai, rukun, dan tidak ada sesuatu hal yang diributkan. Sehingga interaksi sosial antar satu warga dengan yang lainnya di Desa Adat Tenganan ini terjalin dengan harmonis. Mereka tidak membeda-bedakan Stratifikasi sosial yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, mereka memandang masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan bawah tidak ada perbedaannya, mereka dipandang sama saja di mata Masyarakat Desa Adat Tenganan. Misalnya pada saat pembangunan rumah, masyarakat dari ketiga Banjar tersebut bergotong-royong untuk membantu membangun rumah tersebut.
Pengaruh Kelas-Kelas Sosial Sebagai Sarana Penguatan eksistensi
Perbedaan hak dan kewajiban dari setiap kelas sosial, dapat dengan mudah dilihat pada saat pelaksanaan ritual upacara di desa. Sangat jelas terlihat tugas dan kewajiban dari masing-masing kelas-kelas sosial. Tugas dan kewajiban pada lapisan kelas sosial bawah misalnya, diberi tugas untuk menangkap babi dan menyiapkan perlengkapan upacara seperti janur, buah pisang, buah kelapa, dan lain-lain. sedangkan tugas dan kewajiban pada lapisan kelas sosial atas lebih ringan dibandingkan kelas sosial lapisan bawah. Hal tersebut berarti ketika sudah berada di posisi kelas sosial lapisan atas tidak boleh mengambil pekerjaan yang menjadi tugas dan kewajiban bawahan, sementara kelas lapisan sosial bawah masih bisa mengerjakan tugas dari Kaliyan desa, hal ini lah yang membedakan tugas dan kewajiban dari masing-masing lapisan tersebut. Dari masing-masing tugas dan kewajiban tersebut akan menentukan besaran upah atau gaji yang diterima oleh masing-masing lapisan. Hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang desa atau yang biasa disebut dengan awig-awig. Seorang pemimpin atau pemangku adat yang berada di lapisan kelas sosial atas mendapat gaji yang lebih sedikit dibanding kelas sosial lapisan bawah. Hal tersebut dikarenakan tugas-tugas yang dilakukan oleh kelas sosial lapisan bawah lebih berat. sementara pemimpin hanya bisa mengatur tugas-tugas dari lapisan tersebut, misalnya pada saat pembagian hasil panen


Daftar Pustaka:

-      Astrid, S. Susanto Astrid. (1983). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial.Bandung: Binacipta.
-     Mitchell, Duncan. (1984).Sosiologi Suatu Analisa Sistem Sosial.Jakarta.PT. Bina Aksara.  
-     Soekanto,Soerjono. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta; Rajawali Pers. 
-     Salim, Agus. (2002). Perubahan sosial. Yogyakarta: PT.Tiara wacana.
-     Setiadi, Elly M. & Usman Kolip. (2011). Pengantar sosiologi. Jakarta: PerdanaMedia Group.
-     Wulansari, Chatarina Dewi. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: PT Refika       Aditama

-     SurjonoWignjodipuro. (1995). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Jakarta: PT Toko Gunung Agung
-    Martiman Prodjohamidjojo.(2002). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: PT Abadi