(artikel ini merupakan hasil dari kegiatan observasi langsung selama kegiatan KKL bersama
teman-teman kuliah di Universitas Sebelas Maret Prodi PPKn Th.2015)
Realitas Sosial merupakan kenyataan atau keadaan yang dapat dilihat secara riil yang menyangkut kondisi kehidupan manusia didalam suatu kelompok yang disebut masyarakat (diambil dari buku Pengantar Sosiologi. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2010. hlm 31). Realitas sosial juga merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat. mulai dari bagaimana suatu masyarakat itu berpikir, bertindak dan sampai menjadi suatu kebiasaan dalam suatu daerah. Realitas sosial dalam suatu masyarakat meliputi berbagai bidang kehidupan sebagai contohnya dalam hal perkawinan, kelahiran, warisan dan hal yang lain yang mana semuanya itu masuk dalam adat istidat mereka. Realitas sosial terjadi karena adanya pola hubungan yang terjadi dalam masyarakat, yang mencapai kestabilan namun juga dapat menimbulkan konflik. Dari interaksi atau hubungan antar masyarakat itulah yang menimbulkan adanya realitas sosial.
Suku Bali Aga adalah salah satu sub suku bangsa bali yang menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Adat istiadat yang dominan bernafaskan hindu menyimpan berbagai upacara keagamaan, Upacara keagamaan di suku Bali Aga masih sangat kental serta masyarakatnya antusias dalam melaksanakannya. Mereka sangat menjaga adat istiadat mereka dengan aturan yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Perkembangan jaman yang sangat pesat disertai banyaknya teknologi canggih tidak mampu membuat mereka untuk secara langsung untuk meninggalkan aturan adat suku Bali Aga.
STRUKTUR SOSIAL
Di Desa Tenganan Bali Aga terdapat struktur sosial adat yangmembedakan peran seseorang terhadap desa dan tugas pokok fungsi masing-masing tetapi tidak menjadikan adanya pembeda tingkat status sosial antar golongan.Golongan-golongan tersebut, yaitu: 1) Sanghyang : Bertugas untuk memimpin suatu upacara adat, karena mereka dianggap sebagau penghubung dengan Tuhan. 2) Ngijeng. 3) Batu Guling Mage. 4) Batu Guling. 5) Empak Buluh. 6) Prajurit : Seorang prajurit pada zaman dulu bertugas untuk menjaga keamanan desa untuk mempertahankan wilayah seperti berperang, tetapi saat ini keturunan prajurit sudah tidak ada seiring perkembangan zaman. 6) Pande Mas : Seorang yang bertugas untuk membuat alat-alat upacara dari Emas. 7) Pande Besi : Seorang yang bertugas untuk membuat peralatan dari Besi. 8) Pasek. 9) Bendesa.
Pada berbagai Banjar yang ada di Desa Tenganan terdapat berbagai macam golongan yang tersebut di atas.Semua golongan dapat menjadi pemimpin adat, karena kepemimpinan terbentuk berdasarkan senioritas perkawinan.Masyarakat adat Tenganan menganut sistem perkawinan Parental.Dimana perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris. Masyarakat adat Tenganan disini juga menganut sistem perkawinan endogami, dimana masyarakat terikat dalam awig-awig yang mengharuskan pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa ia tidak lagi menjadi warga asli desa adat Tenganan, tetapi hanya menjadi warga adat biasa. Oleh karena itu, yang dapat masuk dalam struktur kepemimpinan adalah warga yang melakukan pernikahan dengan sesama warga desa Tenganan.
Struktur kepemimpinan di desa adat Tenganan Bali didasarkan pada dua aturan yaitu secara adat dan dinas. Didasarkan pada aturan adat, untuk menjadi pemimpin ditentukan dari senioritas perkawinan.Yaitu pasangan yang menikah lebih dulu dari pasangan yang lain, sedangkan kepala desa secara dinas dipilih berdasarkan dengan sistem demokrasi. Stratifikasi sosial, dipandang dari kepemimpinan yang ada di Tenganan, tidak ada pembeda antara golongan yang kaya dan yang miskin semua golongan bisa menjadi anggota legislatif, karena di desa Tenganan tidak ada kasta. Pemilihan pemimpin di desa Tenganan didasarkan tingkat senioritas perkawinan, perbedaan pembagian kerja dan pembagian daging babi dalam setiap jabatan yang di pegang.
Secara adat dipimpin oleh ketua adat dan secara dinas dipimpin kepala desa. Dalam aturan adat ada tiga lembaga yang memimpin desa adat tenganan. terdapat 3 struktur, yaitu Krama Desa, Krama Gumi Pulangan, dan Krama Gumi, masing-masing krama tersebut mempunyai peranan tersendiri dan terdapat persyaratan untuk menduduki jabatan pada masing-masing krama. Krama desa adalah struktur teratas dalam masyarakat adat Tenganan yang juga berfungsi sebagai lembaga pemeritahan adat yang paling utama dan merencanakan serta menyelenggarakan program-program didalam masyarakat Tenganan. Seperti dengan persyaratan seorang krama desa wajib dijabat oleh sepasang suami istri asli orang Tenganan, tidak cacat fisik, tidak poligami, tidak janda atau duda, tidak melakukkan 2 kesalahan yang sama, anaknya belum ada yang menikah, dan masa jabatannya itu tidak ditentukan.Krama Gumi Pulangan merupakan kelompok terpenting dalam pemerintahan. Gumi pulangan merupakan pensiunan krama desa.Sedangkan Krama Gumi adalah seluruh masyarakat adat tenganan termasuk yang cacat fisik, karena anggota masyarakat yang cacat fisik tidak bisa menduduki jabatan dalam lembaga pemerintahan.
STRATIFIKASI SOSIAL
Tidak seperti masyarakat beragama hindu pada umumnya yang menganut sistem kasta, dimasyarakat adat tenganan bali aga startifikasi sosialnya didasarkan pada senioritas perkawinan. Jadi yang boleh menduduki jabatan pemangku adat adalah sorog sangean. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk bisa menjadi pemangku/ sorong sangean.Stratifikasi sosial masyarakat adat tenganan Bali Aga terbagi menjadi 2, yaitu kelas atas dan kelas bawah.Perbedaan mereka terlihat jelas dalam pembagian tugas ketika upacara berlangsung yangmana masyarakat kelas atas bertugas untuk memimpin jalannya upacara.Sedangkan masyarakat kelas bawah bertugas mencari peralatan dan perlengkapan upacara misalnya bertugas untuk menangkap babi, mencari peralatan seperti janur, buah pisang, buah kelapadan lain-lain.Antara kelas bawah dan kelas atas tidak boleh saling mengambil tugas-tugas diantara mereka.Selain itu yang membedakan diantara keduanya yaitu gaji yang diterima.Biasanya gaji jabatan bawah atau kelas bawah lebih besar daripada kelas atas atau pemimpin.Pembagian tersebut dikarenakan tugas-tugas yang diemban kelas bawah itu yang paling berat dilakukan.Pembagian gaji ini sudah diatur dalam undang-undang.Pembagian tersebut dulu dilakukan berdasar hasil panen yang diperoleh.
Adanya pergantian jabatan secara otomatis ketika seorang pemangku sudah mempunyai anak dan anaknya sudah menikah otomatis jabatan tersebut lengser kepada anaknya.Namun juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat melengserkan jabatan.Faktor-faktor lengsernya jabatan yaitu :
1.
Salah satu dari anak seorang yang memiliki jabatan sudah menikah.
2.
Salah seorang yang memiliki jabaan tertentu meninggal dunia
3.
Salah seorang yang memiliki jabatan melakukan pelanggran yang tidak dapat diampuni oleh forum.
4.
Seorang yang memiliki jabatan mengundurkan diri.
Jabatan bawah bisa naik ketika posisi yang ada diatas kosong atau ditinggalkan. Namun untuk kenaikan jabatan memerlukan waktu dan proses yang lama. Ada kekhususan waktu naik jabatan yaitu dibulan pertama, bulan ketiga, bulan kelima dan kesembilan. Berbeda apabila seseorang lengser dari jabatannya, yang tidak memerlukan waktu lama.
SENIORITAS PERKAWINAN
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Adat Tenganan, jabatan dalam sistem pemerintahan di desa ini dipengaruhi oleh senioritas perkawinan. Seseorang hanya dapat menduduki jabatan tersebut jika seseorang telah menikah dan mempunyai pasangan. Dalam sistem pemerintahan ini, jabatan akan naik ketika posisi yang berada diatasnya kosong atau ditinggalkan, proses naiknya jabatan menunggu waktu. Ada kekhususan waktu untuk naik jabatan yaitu dibulan pertama, bulan ketiga, bulan kelima, dan bulan kesembilan, sehingga ada empat kali kesempatan seseorang dapat naik jabatan dalam sistem pemerintahan desa tersebut. Sedangkan seseorang akan lengser dari jabatannya, jika memenuhi beberapa syarat. Syarat tersebut antara lain jika salah satu anaknya sudah menikah, jika salah satu pasangan dari suami istri tersebut meninggal dunia, melakukan pelanggaran yang tidak bisa diampuni setelah di musyawarahkan melalui forum atau rapat desa dan dinyatakan bersalah maka dalam waktu yang sama akan lengser dari jabatannya jika perlu dapat dilengserkan secara paksa.
Sorog Sangean, Sorok yang Tidak Mengalami Mobilitas Sosial.
Berdasarkan hasil penelitian di Masyarakat Desa Adat Tenganan, tidak mengenal adanya sistem kasta, tetapi lebih dikenal dengan jabatan-jabatan sosial atau kelas-kelas sosial. Kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Tetapi justru yang ada adalah sorog atau clan. Dari sekian sorog yang ada, sorog sangeanlah yang boleh menempati jabatan pemimpin atau yang biasa disebut dengan pemangku adat. Sebutan Pemangku adat jika didaerah Bali yang lain disebut dengan pendeta, tetapi di Masyarakat Desa Adat Tenganan lebih menggunakan sebutan pemangku adat. Tugas dari pemangku adat yaitu sebagai pemimpin upacara yang bersifat turun-temurun.
Perubahan Sosial yang Berjalan Lambat
Dari hasil penelitian kami, perubahan sosial disana berjalan lambat, lambatnya perubahan itu di latar belakangi karena disana itu pendidikan disana sudah maju, sudah ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Walaupun sudah kuliah dimana mana, mereka masih memegang teguh adat desa Tenganan. Ilmu yang sudah dipelajari masih tetap dipakai, setelah wisuda mendapat gelar, mereka kawin dan aktif di desa adat tersebut. Jadi ilmu pengetahuan yang didapat digunakan untuk menambah pengetahuan sendiri sehingga, ilmunya tidak dimplementasikan untuk mengembangkan Adat di masyarakat Bali Aga tersebut. Mereka tidak ada yang bekerja diluar, masyarakat tenganan sudah seperti raja, apapun yang mereka butuhkan sudah ada yang melayani.
Berkaiatan dengan kesehatan masyarakat adat Tenganan, perkembangan kesehatan disana sudah mengalami pergeseran sedikit yaitu tentang kelahiran. Dahulunya mereka hanya mengandalkan dukun dan harus didepan dewa api, namun kelahiran di jaman sekarang ini kelahiran sudah perpindah ke dokter, tetapi rangkaian ritual upacara yang masih dilakukan karena ada rangkaian adat. Ketika prosesi kelahiran di rumah sakit, pulang dari rumah sakit mereka tidak boleh tinggal di sembarang tempat. Dan harus bertempat pada satu unit bangunan, yang baru dibangun pertama ketika baru menikah yaitu balai tengah, posisi di sebelah utara. Makanya kalau ada kelahiran harus tinggal di satu unit bangunan tersebut utnuk proses upacara kelahiran. Bayinya ditempatkan disana, tidak boleh ditempatkan pada sembarang tempat.
Kesetaraan Kelas Sosial
Masyarakat Desa Adat Tenganan Bali Aga merupakan masyarakat penganut agama Hindu sekte Indra, sehingga mereka tidak mengenal kelas sosial dalam bentuk kasta seperti masyarakat Hindu kebanyakan.Karena tidak mengenal kasta maka kelas sosial di Masyarakat Desa Adat Tenganan tidak abadi.Kelas sosial Masyarakat Desa Adat Tenganan ditentukan melalui senioritas perkawinan.Artinya determinasi kelas-kelas sosial tidak ditentukan berdasar sumber-sumber ekonomi.Hal ini menunjukkan bahwa kelas-kelas sosial Masyarakat Desa Adat Tenganan berjalan lebih kepada fungsional daripada fungsi penguasaan dan yang dikuasai.Penerapan dari kelas-kelas sosial yang mengutamakan fungsional ini adalah terciptanya kesetaraan sosial, artinya kelas-kelas sosial hanya menunjukkan perbedaan mereka ketika dalam upacara atau ritual tertentu.Karena peran-peran dari masing-masing kelas yang sudah ditentukan. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, tiap kelas tidaklah menunjukkan perbedaan, Pola kehidupan sehari-hari antar kelas tidak menunjukan perbedaan, terlihata dari pola interaksi yang sama, pola kehidupan yang sama, cara berpakaian serta bentuk dan luas rumah seluruhnya sama. Artinya disana tidak ada kalangan majikan (borjous) ataupun kalangan buruh (ploretar).Pada Masyarakat Desa Adat Tenganan juga terdapat tanah adat yang sebenarnya merupakan tanah desa yang dibagikan secara merata kepada masyarakat melalui musyawarah kerama desa.Hasil ekonomi pun dibagi berdasar musyawarah kerama desa sehingga dapat terbagi secara merata.Adapun pekerja dari luar yang berkerja kepada Masyarakat Desa Adat Tenganan telah menerapkan sistem bagi hasil sehingga tidak ada perbudakan buruh dan majikan.
Sehingga dengan tidak adanya pembagian kelas sosial berdasar sumber daya ekonomi, keadilan sosial di Masyarakat Adat Tenganan dapat terwujud. Hal ini membuktikan teori Keadilan Sosial Karl Marx yang membendakan kelas sosial berdasar sumber daya ekonomi, bahwa menurut Karl Marx “Keadilan sosial akan tercapai jika kehidupan masyarakat tanpa kelas telah dapat diwujudkan”.
PENGARUH REALITAS SOSIAL TERHADAP PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN
Menurut Zainal Abidin (2008) Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya, oleh sebab itu arti istilah Eksistensi analog dengan kata kerja, bukan kata benda.
Sesuatu dikatakan eksis apabila keberadaanya diakui, adapun keberadaan bisa dikatakan ada bukan karena sesuatu yang lain tetapi karena dirinya sendiri, serta keberadaannya dikatakan eksis apabila terdapat hak dan kewajiban yang terpenuhi.
Pengaruh Kelas-Kelas Sosial Dalam Interaksi Sosial
Di Masyarakat Desa Adat Tenganan terbagi menjadi kelas-kelas sosial, namun pengaruh dari berbagai kategori kelas-kelas sosial tersebut tidak pernah menimbulkan konflik bagi masyarakat Adat Tenganan tersebut. Mereka selalu hidup damai, rukun, dan tidak ada sesuatu hal yang diributkan. Sehingga interaksi sosial antar satu warga dengan yang lainnya di Desa Adat Tenganan ini terjalin dengan harmonis. Mereka tidak membeda-bedakan Stratifikasi sosial yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, mereka memandang masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan bawah tidak ada perbedaannya, mereka dipandang sama saja di mata Masyarakat Desa Adat Tenganan. Misalnya pada saat pembangunan rumah, masyarakat dari ketiga Banjar tersebut bergotong-royong untuk membantu membangun rumah tersebut.
Pengaruh Kelas-Kelas Sosial Sebagai Sarana Penguatan eksistensi
Perbedaan hak dan kewajiban dari setiap kelas sosial, dapat dengan mudah dilihat pada saat pelaksanaan ritual upacara di desa. Sangat jelas terlihat tugas dan kewajiban dari masing-masing kelas-kelas sosial. Tugas dan kewajiban pada lapisan kelas sosial bawah misalnya, diberi tugas untuk menangkap babi dan menyiapkan perlengkapan upacara seperti janur, buah pisang, buah kelapa, dan lain-lain. sedangkan tugas dan kewajiban pada lapisan kelas sosial atas lebih ringan dibandingkan kelas sosial lapisan bawah. Hal tersebut berarti ketika sudah berada di posisi kelas sosial lapisan atas tidak boleh mengambil pekerjaan yang menjadi tugas dan kewajiban bawahan, sementara kelas lapisan sosial bawah masih bisa mengerjakan tugas dari Kaliyan desa, hal ini lah yang membedakan tugas dan kewajiban dari masing-masing lapisan tersebut. Dari masing-masing tugas dan kewajiban tersebut akan menentukan besaran upah atau gaji yang diterima oleh masing-masing lapisan. Hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang desa atau yang biasa disebut dengan awig-awig. Seorang pemimpin atau pemangku adat yang berada di lapisan kelas sosial atas mendapat gaji yang lebih sedikit dibanding kelas sosial lapisan bawah. Hal tersebut dikarenakan tugas-tugas yang dilakukan oleh kelas sosial lapisan bawah lebih berat. sementara pemimpin hanya bisa mengatur tugas-tugas dari lapisan tersebut, misalnya pada saat pembagian hasil panen
Daftar Pustaka:
- Astrid,
S. Susanto Astrid. (1983). Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial.Bandung: Binacipta.
- Mitchell,
Duncan. (1984).Sosiologi
Suatu Analisa Sistem Sosial.Jakarta.PT. Bina Aksara.
- Soekanto,Soerjono.
(2012). Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta; Rajawali
Pers.
- Salim,
Agus. (2002). Perubahan sosial. Yogyakarta: PT.Tiara wacana.
- Setiadi,
Elly M. & Usman Kolip. (2011). Pengantar
sosiologi. Jakarta: PerdanaMedia Group.
- Wulansari,
Chatarina Dewi. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: PT Refika Aditama
- SurjonoWignjodipuro. (1995).
Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Jakarta: PT Toko Gunung Agung
- Martiman Prodjohamidjojo.(2002).
Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:
PT Abadi